Tinjauan Ilmiah dan Solusi Kolaboratif Bagi Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat
Pendahuluan
Banyak guru dan orang tua menyaksikan fenomena ini: anak-anak salat dengan rapi, tertib, dan penuh kesungguhan saat di sekolah. Namun ketika salat di masjid atau di rumah, mereka cenderung asal-asalanβgerakan cepat, bacaan tak terdengar, bahkan kadang bercanda. Lalu muncul pertanyaan dari masyarakat: “Apakah sekolah tidak mengajarkan dengan benar?”
Pertanyaan itu wajar, namun jika ditelaah secara ilmiah, perilaku tersebut bukan karena sekolah gagal mendidik, melainkan karena adanya perbedaan konteks, motivasi, dan pengaruh sosial yang memengaruhi bagaimana anak-anak menampilkan perilaku di luar lingkungan sekolah.
Pembahasan Ilmiah dari Berbagai Perspektif
1. Psikologi Sosial: Lingkungan Mempengaruhi Perilaku
Menurut teori konformitas sosial, anak-anak cenderung menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sekitar. Jika di masjid mereka melihat teman-temannya shalat dengan malas-malasan, mereka akan ikut-ikutan agar tidak dianggap “beda sendiri”.
Selain itu, dalam kelompok besar seperti di masjid, anak-anak bisa mengalami deindividuasi, yaitu merasa tidak diawasi secara pribadi. Di sekolah, guru hadir sebagai pengawas, tapi di masjid mereka merasa tidak ada yang memperhatikan secara khusus, sehingga kontrol diri menurun.
π¬ Kesimpulan: Anak-anak tahu bagaimana shalat yang baik, tapi tidak merasa ada dorongan atau pengawasan untuk melakukannya dengan baik di luar sekolah.
2. Psikologi Perkembangan: Fase Pencarian Identitas Remaja
Anak-anak usia sekolah dasar hingga remaja sedang berada pada tahap perkembangan identitas. Mereka belum sepenuhnya menyatukan nilai yang diajarkan dengan identitas diri mereka sendiri.
Di sekolah, mereka bersikap sebagai “murid”, taat pada aturan. Di luar sekolah, mereka bisa berperan sebagai “anak komplek”, “teman bermain”, atau “pengikut lingkungan”, dan nilai-nilai yang mereka pelajari belum tertanam sebagai bagian dari diri.
π¬ Kesimpulan: Nilai keagamaan belum menyatu dengan jati diri mereka. Dibutuhkan proses panjang agar nilai menjadi karakter, bukan hanya kepatuhan sesaat.
3. Teori Belajar: Masalah Transfer Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, dikenal konsep transfer of learning: kemampuan menerapkan apa yang dipelajari di satu situasi ke situasi lain. Anak-anak sering kesulitan melakukan transfer ini jika situasi lingkungan sangat berbeda.
Contoh: Shalat di kelas dengan bimbingan guru sangat berbeda dengan salat di masjid bersama banyak orang dan tanpa pendampingan langsung.
π¬ Kesimpulan: Pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah perlu dilatih juga di luar sekolah agar bisa diterapkan secara konsisten.
4. Neurosains Pendidikan: Belum Menjadi Kebiasaan Otomatis
Otak manusia bekerja dengan dua mode:
-
Kognitif sadar: saat belajar sesuatu yang baru.
-
Otomatis (kebiasaan): saat suatu tindakan sudah dilatih berulang kali dalam berbagai konteks.
Shalat yang hanya dilatih di sekolah, tanpa diperkuat di rumah atau masjid, belum cukup kuat untuk menjadi kebiasaan otomatis. Maka ketika tidak diawasi, anak cenderung mengikuti kebiasaan lingkungan sekitar.
π¬ Kesimpulan: Tanpa latihan di berbagai situasi, perilaku belum menjadi bagian dari sistem kebiasaan otak anak.
5. Sosiologi Pendidikan: Dualitas Norma Sosial
Anak-anak hidup dalam dua dunia norma:
-
Norma formal: seperti yang diajarkan di sekolah (disiplin, khusyuk, tertib).
-
Norma sosial lingkungan: seperti yang berlaku di rumah atau masjid (mungkin lebih longgar).
Jika di masjid tidak ada orang dewasa yang mencontohkan shalat dengan baik, atau anak-anak lain justru bercanda saat shalat, maka norma sosial yang lebih longgar itulah yang lebih kuat menarik.
π¬ Kesimpulan: Teladan dan budaya lingkungan sangat menentukan apakah anak akan konsisten menjalankan nilai yang sudah dipelajarinya.
Solusi: Kolaborasi Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat
β 1. Simulasi Ibadah di Konteks Nyata
Sekolah sebaiknya tidak hanya mengajarkan shalat di kelas, tapi juga mengajak siswa untuk salat berjamaah di masjid umum, bersama masyarakat.
π Tujuannya: anak mengalami langsung bagaimana menerapkan ibadah dalam situasi sosial yang lebih luas.
β 2. Keteladanan Orang Tua dan Tokoh Masyarakat
Anak-anak meniru lebih dari apa yang mereka dengar. Jika orang tua dan pengurus masjid shalat dengan tertib dan khusyuk, maka itu akan menjadi standar perilaku yang ditiru.
π Ajakan untuk para orang tua: shalat dengan benar di depan anak adalah bentuk pengajaran yang paling kuat.
β 3. Bangun Budaya Positif di Masjid Lingkungan
Bentuk kelompok remaja masjid yang positif. Buat kegiatan edukatif yang memperkuat kebiasaan ibadah.
π Libatkan anak-anak sebagai bagian aktif dari kegiatan masjid agar merasa memiliki tanggung jawab di dalamnya.
β 4. Diskusi Reflektif tentang Makna Ibadah
Jangan hanya menekankan aturan teknis (gerakan, bacaan), tapi juga ajak anak berbicara tentang mengapa kita shalat, untuk siapa, dan apa maknanya.
π Ini membangun motivasi internal, bukan sekadar takut nilai jelek atau dimarahi guru.
β 5. Konsistensi antara Rumah dan Sekolah
Standar ibadah yang tinggi di sekolah harus didukung oleh pembiasaan serupa di rumah.
π Shalat berjamaah di rumah, mengingatkan dengan cara lembut, dan mengobrol seputar nilai ibadah bisa membantu menguatkan konsistensi anak.
Penutup: Mengubah Perspektif dari Menyalahkan Menjadi Berkolaborasi
Perilaku anak yang berbeda antara sekolah dan luar sekolah bukan berarti sekolah gagal mendidik. Ini justru menunjukkan bahwa pendidikan nilai tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Butuh kerja sama antara guru, orang tua, tokoh agama, dan komunitas untuk:
-
Menjadikan nilai sebagai karakter.
-
Menumbuhkan kebiasaan sebagai budaya.
-
Membentuk generasi yang tak hanya tahu, tapi juga mau dan mampu menjalankan ajaran agama dengan kesadaran diri.
β Mari kita pikirkan apa yang bisa kita lakukan bersama untuk memperkuat pembiasaan yang baik di mana pun anak berada.”
Baarakallahu Fiikum